1. KEMBALIKAN
INDONESIAKU!!
Mari kita kobarkan kembali rasa cinta
tanah air, rela berkorban, rasa senasib sepenanggungan, semangat persatuan dan
kesatuan, dan menjadikan kemajemukan kita sebagai kekuatan.Bangsa Indonesia
akan memperingati hari kemerdekaannya yang ke-68. Dalam kesempatan bersejarah
ini, perlu bagi kita untuk merenung dan menilai secara jujur sudah sampai
manakah pencapaian kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?
Pertanyaan lainnya adalah, apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sudah mampu melaksanakan tujuan pembentukan negara seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa kita? Apakah segenap rakyat Indonesia sudah merasakan manfaat dari penyerahan kebebasan mereka untuk diatur negara ini dan merasakan keadaan yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karta raharja?
Pertanyaan lainnya adalah, apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sudah mampu melaksanakan tujuan pembentukan negara seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa kita? Apakah segenap rakyat Indonesia sudah merasakan manfaat dari penyerahan kebebasan mereka untuk diatur negara ini dan merasakan keadaan yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karta raharja?
Pasti ada sisi terang, walaupun tidak
kurang sisi kelam yang membayangi perjalanan hidup Indonesia. Sebagai negara
dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia yang demokratis, Indonesia
sudah menjadi anggota G-20. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia sudah
hampir mencapai satu triliun dolar AS. Rasio utang Indonesia terhadap PDB
sebesar 25 persen, cadangan devisa 114, 502 miliar dolar AS dan defisit publik
kurang dari 2 persen terhadap PDB menunjukkan kekuatan dan stabilitas ekonomi
Indonesia pada 2011.
Selama tujuh tahun terakhir, angka
kemiskinan di Indonesia terus menurun dari 36,1 juta orang atau 16,66 persen
dari total penduduk pada Februari 2004 menjadi 29,9 juta orang atau 12,36
persen dari total penduduk pada September 2011. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
beberapa tahun terakhir selalu berkisar di atas 6 persen. Kondisi ekonomi makro
yang stabil dan sehat, tetapi apakah segala keberhasilan yang dicapai
benar-benar sudah memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat?
Nyatanya, kita masih merasakan
bayang-bayang gelap yang menghantui. Rasanya kita belum benar-benar eksis
sebagai sebuah negara yang berdaulat. Masih banyak persoalan kebangsaan yang
harus kita tangani secara komprehensif dengan semangat kebersamaan bila kita
tidak ingin menjadi negara gagal seperti hasil penelitian organisasi nirlaba
Foreign Policy and Fund for Peace. Indonesia berada di nomor urut 63, lebih buruk
dari 2011 yang berada di urutan 64. Daripada berdebat tentang apakah Indonesia
memang negara gagal, mari kita jadikan Failed States Index (FSI) tersebut
sebagai pemicu untuk mengoreksi kekeliruan.
Demokrasi Bukan Tujuan
Demokrasi Bukan Tujuan
Rasanya, kekeliruan kita yang utama
adalah menempatkan demokrasi sebagai tujuan, padahal itu hanya cara untuk
mengejar cita-cita nasional. Akibatnya, politik kita jadikan panglima. Masih
pula perlu kita pertanyakan kesesuaian sistem kenegaraan kita saat ini dengan
falsafah Pancasila. Rasanya Pancasila sudah kita lupakan dan buang jauh-jauh
dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bagaimana tidak, setelah empat kali perubahan
Undang-Undang Dasar 1945, kita justru menafikan golongan minoritas. Bila dahulu
MPR masih menampung aspirasi kelompok minoritas dalam bentuk utusan golongan,
sekarang hanya ada perwakilan rakyat yang dipilih mewakili partai dan mewakili
daerah. Dikhawatirkan terjadi tirani mayoritas, hilangnya hak kaum minoritas.
Dalam aspek ekonomi, kita pertanyakan
kedaulatan kita sebagai bangsa. Kita sudah melenceng dari amanat BAB XIV
Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur bahwa: perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kenyataannya justru
banyak aset ekonomi dan strategik kita yang dikuasai asing semisal
telekomunikasi, perbankan, pertambangan dan energi. Dalam hal pangan pun kita
belum mampu berswasembada apalagi berdaulat.
Tengoklah di sektor perbankan, misalnya,
penguasaan aset perbankan nasional oleh bank milik negara dan swasta nasional
kian menyusut, digantikan penguasaan aset oleh bank milik asing yang meningkat
tajam dan mendominasi. Kepemilikan asing di bank-bank tumbuh menjadi 21 persen
di 2011. Aset bank swasta nasional yang dimiliki lokal terus merosot dari 42
persen di 1998 ke-22 persen pada 2011, sedangkan aset bank BUMN terus tergerus
dari 44 persen pada 1998 menjadi 35 persen di 2011. Apabila ditotal dengan
kantor cabang bank asing dan bank campuran, maka total pangsa pasar bank milik
asing di Indonesia sudah mencapai 34 persen (Koran Jakarta, 26 Juli
2012).
Mari kita menyimak ayat 4 Pasal 33 UUD
1945 yang berbunyi “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Tapi apa kenyataannya?
Kita justru melihat tingkat kesenjangan
yang semakin tinggi. Data Rasio Gini yang merupakan ukuran ketimpangan
pendapatan Indonesia mencapai 0,41 pada 2011, memburuk dari 0,38 pada 2010.
Konglomerasi semakin merajalela, ketimpangan antardaerah, antarwilayah, dan
antargolongan cenderung meningkat.
Sesungguhnya, tak satu pun amanat
konstitusi kita yang mewajibkan untuk menciptakan pertumbuhan yang
setinggi-tingginya, tetapi mengutamakan pemerataan dan keadilan. Bukankah
perintah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa” harus diartikan sebagai kebersamaan, bukan untuk segolongan
masyarakat?
Wajib Tegakkan Keadilan
Wajib Tegakkan Keadilan
Dalam aspek politik kita melihat demokrasi
dengan sistem pemilihan yang bebas dinodai oleh politik transaksional. Kondisi
ini mengakibatkan pemimpin yang terpilih belum tentu adalah putra terbaik
bangsa, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin saat ini banyak
diragukan. Mereka melihat betapa banyak pejabat publik menjadi tersangka,
terdakwa, bahkan terhukum dalam kasus korupsi dan penyuapan. Harus ada
rekonstruksi politik yang lebih baik untuk lebih menjamin proses pemilihan yang
melahirkan pemimpin yang terbaik.
Dalam suratnya kepada Bishop Mandell
Creighton, 1887, Lord Acton menuliskan “Power tends to corrupt, and absolute
power corrupts absolutely”. Dengan demikian, kuncinya adalah transparansi,
akuntabilitas, dan penegakan hukum yang kuat. Namun apa lacur, penegak hukum
belum memenuhi harapan. Ingat kasus rekening gendut para petinggi Polri dan
transfer uang yang mencurigakan seperti dilaporkan PPATK? Kasus-kasus besar
seperti Bank Century dan Hambalang dikhawatirkan lenyap begitu saja.
Kita juga perlu mempertimbangkan untuk
meredefinisi ulang politik luar negeri kita agar lebih efektif dalam
memperjuangkan dan menjaga kepentingan nasional. Bukankah seharusnya kebijakan
politik luar negeri semata-mata ditujukan untuk pencapaian kepentingan bangsa?
Kalau demikian, mengapa pilar utama politik luar negeri kita lebih didasarkan
pada kepentingan regional dan internasional, bukan kepentingan nasional?
Selama 40 tahun terakhir, ASEAN selalu
menjadi sokoguru politik luar negeri Indonesia, terutama karena Indonesia
adalah salah satu pendiri dan pemrakarsa ASEAN. Karena itu, ASEAN seharusnya
merupakan instrumen politik luar negeri Indonesia karena dianggap mampu
menyelesaikan permasalahan regional, bahkan internasional.
Kenyataannya, forum-forum ASEAN tidak
mampu menyelesaikan masalah antarnegara anggota, bahkan kecenderungannya adalah
Indonesia banyak mengalahkan prinsip dan kepentingan nasionalnya sendiri demi
keutuhan ASEAN. Ketegangan di Laut China Selatan yang kembali memanas
akhir-akhir ini merupakan salah satu bukti nyata bahwa ASEAN memang tidak
berdaya.
Kembalikan Indonesiaku
Kembalikan Indonesiaku
Dalam aspek persatuan, kita masih melihat
adanya gangguan separatisme di daerah. Ada pula kesenjangan antardaerah,
antargolongan, serta antara pusat dan daerah. Bentrokan antargolongan masih
terjadi, terutama dengan adanya kelompok-kelompok anarkis yang melakukan
tindakan kekerasan dan teror terhadap masyarakat. Belum lagi peperangan
antargeng dan antargolongan yang kembali merebak.
Gangguan terhadap kedaulatan wilayah kita
masih terasa. Banyak intrusi yang dilakukan negara asing terhadap wilayah
perairan dan perbatasan. Berkurangnya luas wilayah nasional akibat berpindahnya
tapal batas wilayah kita di Kalimantan serta pelanggaran udara dan laut RI oleh
pesawat udara dan kapal perang terutama kapal selam asing yang bahkan tidak
pernah kita ketahui adanya, adalah contoh kurangnya kemampuan dan kekuatan laut
dan udara kita dalam mengendalikan dan menjaga kedaulatan RI.
Lebih dari itu, bangsa Indonesia saat ini
tercabut dari akarnya. Wawasan kebangsaan yang bersumber dari landasan
Pancasila tidak lagi menjadi falsafah kehidupan. Bahkan, kita sudah tidak lagi
paham landasan kebangsaan kita, yaitu kekeluargaan, musyawarah, dan mufakat
karena batang tubuh konstitusi kita sudah disimpangkan dari Pembukaan UUD 45
yang merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Kontemplasi dan perenungan ini
sesungguhnya bukanlah untuk menyanggah segala keberhasilan, tetapi lebih
sebagai upaya untuk menyadarkan kita semua bahwa masih sangat banyak kekurangan
yang perlu kita perbaiki.
Pasti bukan kebetulan 17 Agustus 2012
yang akan kita rayakan beberapa hari lagi bertepatan jatuh pada hari Jumat
bulan Ramadan 1433 H, persis sama dengan 17 Agustus 1945 yang juga jatuh pada
hari Jumat bulan Ramadan 1364 H. Ini menjadi peringatan kepada kita semua untuk
kembali berjuang, mengembalikan keindonesiaan kita dengan memperbaiki pola
pikir, pola sikap, dan pola tindak. Indonesia harus kita kembalikan kepada
haluannya yang benar, sesuai cita-cita pembentukannya, yaitu mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur.
Mari kita kobarkan kembali rasa cinta
tanah air, rela berkorban, rasa senasib sepenanggungan, semangat persatuan dan
kesatuan, dan menjadikan kemajemukan kita sebagai kekuatan. Bhinneka Tunggal
Ika dan Merah Putih harus kembali kita junjung tinggi dan kita kibarkan. Dengan
kata lain, mari kita kembalikan Indonesia. Dirgahayu Republik Indonesia ke-68,
hiduplah Indonesia raya.
(PERISKOP/SHNEWS.CO/P.011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar